JAKARTA, M86 - Kepala Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta, Peni Susanti, mengklaim Ibukota Jakarta sebagai salah satu kota dengan kualitas udara terbersih di Asia. Peni mengacu hasil penilaian LSM bidang lingkungan, Clean Air Initiative (CAI) for Asia City.
Penilaian pada 2009 lalu itu bertujuan untuk mengevaluasi kualitas udara suatu kota dan upaya yang dilakukan untuk mengendalikan pencemaran udara, serta emisi green house gasses (GHG) atau gas rumah kaca.
Dia menjelaskan, penilaian kualitas udara itu didasarkan pada tiga indeks. Yakni, polusi udara dan kesehatan dengan membandingkan konsentrasi pencemaran rata-rata tahunan dengan ambang batas organisasi kesehatan dunia, WHO.
Selanjutnya, kapasitas manajemen udara bersih dengan mengevaluasi tingkat kapasitas suatu kota dalam menentukan sumber pencemar. Serta kebijakan dan implementasi udara bersih, dengan mengevaluasi upaya kebijakan dan implementasi untuk mengendalikan sumber pencemar yang telah ditentukan.
Penilaian ketiga indeks tersebut akan diklasifikasi dalam enam kategori. Yaitu, critical (0-10), very poor (11-20), poor (21-40), moderate (41-60), good (61-80), dan
excellent (81-100). Hasilnya, Jakarta termasuk pada kategori good. Kondisi itu menempatkan Jakarta berada pada posisi yang sama dengan Kota Bangkok, Hanoi, Jinan, dan Manila.
Untuk menjaga kualitas udara tetap bersih, sambung Peni, Pemprov DKI Jakarta menerbitkan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara. Dalam aturan tersebut diatur langkah pengendalian pencemaran udara baik di luar ruangan maupun dalam ruangan.
Tolok ukurnya, sekarang masyarakat dari Stasiun Gambir bisa melihat Gunung Salak yang terletak di Bogor, padahal dulu tidak bisa. “Di Kepulauan Seribu kita juga bisa melihat sunset,” ujar Peni, Sabtu (28/05).
Beberapa fakta itu diyakini Peni menandakan bahwa kualitas udara di Ibukota benar-benar bersih dan tak membahayakan pernafasan. Langkah lain guna menjaga kualitas udara adalah dengan menggelar hari bebas kendaraan bermotor atau car free day. Dikatakannya, komitmen gubernur memenuhi ruang terbuka hijau (RTH) di Jakarta mencapai 20 persen sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Hutan Kota. Yang mensyaratkan sebuah kota memiliki 30 persen RTH atau minimal 20 persen segera terwujud.
“Ini bukti komitmen kami menciptakan kualitas udara bersih,” papar Peni.
Selain itu, sektor transportasi dan pembangkit listrik juga menjadi sumber utama penghasil gas rumah kaca di Jakarta. Karenanya, Pemprov DKI tengah berupaya mengubah pola hidup warga ibukota agar menggunakan kendaraan yang ramah lingkungan.
Dia menambahkan, data profil emisi gas rumah kaca tahun 2005, sektor transportasi menyumbang 44,89 persen atau 19,61 juta ton CO2 (karbondioksida). Untuk pemakaian listrik menyumbang 40,74 persen atau setara 17,79 juta ton CO2. Sementara, sektor industri 5,71 persen, sampah 5,06 persen, dan rumah tangga menyumbang 4,10 persen.
Oleh karena itu, harus dilakukan tindakan serius untuk mencegah semakin banyaknya emisi gas rumah kaca. Pasalnya, emisi CO2 diproyeksikan meningkat lima kali lipat mencapai lebih 200 juta ton CO2 pada 2030 mendatang. Karena itu, ia mendukung pemerintah pusat yang berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca sebanyak 26 persen secara sukarela. Serta, 41 persen melalui dukungan mitra internasional hingga tahun 2020.
“Jakarta akan berupaya menurunkan gas rumah kaca sampai 30 persen,” tegas Peni. (red/*tdc)
Sabtu, Mei 28, 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar